BlogRoll 2

Rabu, 05 November 2014

Situs Punden Kalisongo

Situs Punden Kalisongo


Situs Kalisongo yang berada tak jauh dari Kali Metro.
Malang Raya memiliki banyak lokasi bersejarah dari peninggalan kerajaan-kerajaan besar yang pernah berkuasa di wilayah ini pada masa lalu.
Salah satu yang masih bisa kita amati saat ini adalah peninggalan purbakala berupa reruntuhan candi yang berada di Punden Kalisongo. Berlokasi di Dusun Sumberejo (RT/RW 01/01), Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, tepat di tepi pertigaan Jl. Dieng Atas.

Dari arah Kampus Universitas Merdeka Malang, Ngalamers bisa menempuhnya ke arah barat sekitar 3 menit melalui Jl. Dieng Atas.

Saat ini, keberadaan situs hanya menyisakan sebuah arca Nandi, sebuah pedestal dari Batu Andesit, sebuah Yoni, sepotong balok batu berkronogram, sebuah pilar batu, dan sebuah balik batu polos. Situs Kalisongo hanya terlindungi oleh sebuah cungkup (bilik) sederhana berukuran kecil yang lokasinya berdekatan dengan areal rumah warga, sekitar 300 meter arah barat Kali/Sungai Metro.

A. Arca Nandi.
Sebuah Arca Nandi dari batu Andesit dengan bagian tubuh yang tidak utuh, seperti kepala dan punuk yang sudah rompal (hilang). Posisinya bersimpuh di atas pedestal dengan ukuran panjang sekitar 36 Cm. Nandi merupakan kendaraan Dewa Siwa yang berwujud seekor lembu (sapi) jantan.

B. Yoni
Sebuah Yoni yang terbuat dari batu Andesit yang bagian ceratnya telah hilang. Biasanya dilengkapi dengan Lingga sebagai pasangannya yang ditancapkan ke dalam lobang persegi di bagian atas Yoni. Namun di Situs Kalisongo, tanpa keberadaan Lingga.  Yoni  adalah simbol dari Dewi Uma/Parwati, istri (sakti) dari Dewa Siwa yang disimbolkan dengan Lingga. Celah pada pelipit atas permukaan Yoni berfungsi untuk mengalirkan Air Suci menuju cerat yang masih tampak.

C. Pedestal
Berukuran hampir 50 cm persegi, sebuah pedestal yang berbahan sama dengan dua bagian sebelumnya.  Bagian atas dilengkapi lobang bulat untuk menancapkan sesuatu yang berbentuk silindris. meski belum jelas benda apa yang ditancapkan, namun bisa jadi bagian bawah dari arca ataupun batu sima yang berbentuk silindris. Pedestal ini juga dilengkapi dengan perbingkaian atas dan bawah, pilaster, juga bingkai pada batangnya.

D. Balok Berkronogram
Balok batu andesit yang bertuliskan angka tahun, namun disayangkan, dari semula sepasang balok batu, kini hanya diketemukan satu potong. Angka digit yang tertera pun hanya angka puluhan (angka 4) dan satuan (angka 3). Sedangkan angka ribuan dan ratusannya berada pada balok yang belum diketemukan. Dipastikan angka ribuannya adalah 1, dengan beberapa kemungkinan angka ratusan (0,1,2,3 atau 4).

Dari kemungkinan tahunnya adalah 1043 Saka (1121 M), 1143 S (1221 M), 1343 S (1321 M), atau 1443 S (1421 M). Prakiraan masanya adalah, Masa Kadiri (1121M dan 1221 M), atau Masa Majapahit (1321 M / 1421 M).

E. Pilar Batu
Sebuah pilar dari batu andest yang belum diketahui apa fungsinya. Dilengkapi dengan perbingkaian bawah serta perbingkaian atas yang berupa peliot persegi.

F. Balik Batu
Kemungkinan merupakan sisa bebatuan candi yang tersisa. Terbuat dari batu andesit berukuran 23x17x27 Cm.

Desa Kalisongo sendiri merupakan desa bersejarah, Ngalamers. Banyak bukti historis maupun arkeologis yang bisa ditemukan di desa yang menjorok ke kawasan Kota Malang ini.

Peninggalan purbakala di Situs Kalisongo yang diyakini merupakan reruntuhan candi pada akhir masa Kadiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Drs. M Dwi Cahyono, MHum., Arkeolog yang juga Dosen Universitas Negeri Malang, ternyata dari penemuan benda-benda purbakala yang kini berada di Punden Kalisongo terbaca huruf yang menandakan tahun 43.

'Bisa dikatakan kurang lebihnya tahun 1143, Jadi akhir (kerajaan) Kadiri, awal Singhasari, bahkan awal Tumapel malahan.' kata Ahmad Yani, Ketua Komunitas Metro Pradesa, kepada Halomalang, Kamis (09/10) lalu.

Tuanya perkampungan di Kalisongo khususnya Sumberejo, juga diindikasikan dengan keberadaan punden 'Buyut Kiyo', seorang tokoh yang makamnya dianggap keramat oleh warga sekitar. Meski tak diketahui pasti kapan tanggal dan tahunnya, namun di makam Buyut Kiyo terdapat nisan yang mengarah ke utara, khas pemakaman warga muslim.

'Boleh dikatakan ini merupakan peradaban Mataram-Islam, kalau yang sana (Punden Kalisongo) itu Hindu-Siwa. Jadi Sumberejo ini adalah satu wilayah yang mengalami suatu metamorfosis peradaban yang luar biasa.' jelas pria yang dulunya mengaku sebagai mahasiswa dari Arkeolog UM, Dwi Cahyono ini.

Juga tak jauh dari Kalisongo adalah kelurahan Pisangcandi dan Karangbesuki, yang keduanya mempunyai jejak budaya masa lalu, baik dari jaman prasejarah hingga masa Hindu-Buddha.

Bahkan, menurut essay berjudul 'Bedah Sejarah Desa Kalisongo: Adaptasi Ekologi Suatu Permukiman Kuno di Lembah Metro' yang ditulis Drs. M Dwi Cahyono, MHum., bisa jadi pusat pemerintahan Kerajaan Kanjuruhan (abad VIII - IX M) berada tak jauh dari Kalisongo, yakni Dusun Kejuron.

Bp. Ahmad Yani, pemerhati dan pelestari budaya dari Komunitas Metro Pradesa.
Unsur nama 'Kejuron' dekat atau perubahan dari nama 'Kanjuruhan'. Lokasinya dekat dengan Candi Badut, yang berdasarkan prasasti Dinoyo I (Kanjuruhan 760M) merupakan bangunan suci dari masa pemerintahan Raja Gajayana.

Desa Kalisongo ini termasuk dalam konteks 'Metro Pradesa', yakni desa-desa yang berada di aliran Kali Metro. Di wilayah ini, Kali Metro mendapat pasokan air dari Kali Songo, yakni sungai yang bersumber dari sembilan mata air.

Dari sudut pandang sejarah, Kali Metro merupakan sungai di Malang Raya yang diyakini sebagai sungai suci pada masa Hindu-Buddha. Hal ini dikarenakan mata airnya berada di lereng timur Bukit Panderman (anak Gunung Kawi) yang pada masa tersebut juga diyakini sebagai Gunung Suci (Holly Mountain). Dalam sejarah panjang Malang, Kali Metro menjadi unsur fisis alamiah yang turut membentuk peradaban yang berada di kawasan timur Gunung Kawi (Malang Raya).

Selain sumber data berbentuk artefak, terdapat pula sumber data berupa prasasti yang kemungkinan memiliki kontribusi informasi bagi sejarah Desa Kalisongo, yakni prasasti tembaga (Tamtra-Prasasti) Ukir Negara atau prasasti Pamotoh yang bertuliskan Saka 1120 (1198 M).

Prasasti ini menginformasikan tentang pemberian anugerah tanah perdikan di suatu lembah oleh Sri Digjaya Resi melalui perantara Dyah Limpa, Dyah Mget, Dyah Duhet dan Dyah Tamani atas jasanya menjaga tanggul di bumi Panjalu. Dyah Limpa berkedudukan di Gasek. Gasek sendiri saat ini merupakan sebuah dusun di Kelurahan Karangbesuki. Selain itu, prasasti Pamotoh juga menyebut 35 desa di timur Gunung Kawi yang mendapat penarikan pajak dari Rakyan Kanuruhan. Salah satu desanya adalah Desa Palakan.

Unsur nama Palakan ini hadir sebagai nama salah satu kampung di Desa Kalisongo yakni 'Lok Andeng', tak jauh dari Lok Andeng juga terdapat kampung bernama Lok Sumber yang terdapat sebuah cekungan tanah yang luas dan terdapat genangan air dari sejumlah mata air. Bisa jadi desa kuno Palakan yang disebut dalam Prasasti Pamotoh kini dinamai 'Lowok Sumber atau Lok Andeng'.

Alasan lain, lokasi Lok Andeng tak jauh dari desa-desa kuno seperti Gasek, Peniwen, Talun, Gadang, Segenggeng yang juga disebut dalam Prasasti Pamotoh. Luga lokasinya berada di sub area barat Malang yang masuk daerah kekuasaan Rakyan Kanuruhan. Selain itu keberadaan jejak arkeologis Hindu-Buddha berupa reruntuhan candi di Situs Kalisongo.

Jika demikian adanya, maka kawasan ini merupakan daerah tua yang telah ada sejak masa Kadiri, dengan nama kunonya 'Thani (Desa) Palakan'. Keberadaan reruntuhan candi di Punden Kalisongo adalah bukti jika pada masa itu masyarakatnya sangat agamis, sehingga dibagun tempat peribadatan berbentuk candi.

Reruntuhan di Punden Kalisongo sendiri merupakan tempat peribadatan yang berlatar agama Hindu Sekte Siwa. Yoni yang merupakan simbol sakti (istri) Dewa Siwa dan Arca Nandi sebagai wahana Dewa Siwa adalah indikator kuatnya.


Apalagi jika menilik keberadaan situs-situs di sekitarnya seperti Candi Badut, situs Gasek, Watu Gong, Bakalan Krajan, atau situs Peniwen, cukup untuk menyatakan pengaruh kuat Hindu-Siwa, khususnya Siwa Siddharta sangat dominan di kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) Metro pada masa Hindu-Buddha.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by fthemes
Bloggerized by Seo Lanka and Blogger Template