Situs Punden Kalisongo
Situs Kalisongo yang berada tak jauh dari Kali Metro.
Malang Raya memiliki banyak lokasi bersejarah dari
peninggalan kerajaan-kerajaan besar yang pernah berkuasa di wilayah ini pada
masa lalu.
Salah satu yang masih bisa kita amati saat ini adalah
peninggalan purbakala berupa reruntuhan candi yang berada di Punden Kalisongo.
Berlokasi di Dusun Sumberejo (RT/RW 01/01), Desa Kalisongo, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang, tepat di tepi pertigaan Jl. Dieng Atas.
Dari arah Kampus Universitas Merdeka Malang, Ngalamers bisa
menempuhnya ke arah barat sekitar 3 menit melalui Jl. Dieng Atas.
Saat ini, keberadaan situs hanya menyisakan sebuah arca
Nandi, sebuah pedestal dari Batu Andesit, sebuah Yoni, sepotong balok batu
berkronogram, sebuah pilar batu, dan sebuah balik batu polos. Situs Kalisongo
hanya terlindungi oleh sebuah cungkup (bilik) sederhana berukuran kecil yang
lokasinya berdekatan dengan areal rumah warga, sekitar 300 meter arah barat
Kali/Sungai Metro.
A. Arca Nandi.
Sebuah Arca Nandi dari batu Andesit dengan bagian tubuh yang
tidak utuh, seperti kepala dan punuk yang sudah rompal (hilang). Posisinya
bersimpuh di atas pedestal dengan ukuran panjang sekitar 36 Cm. Nandi merupakan
kendaraan Dewa Siwa yang berwujud seekor lembu (sapi) jantan.
B. Yoni
Sebuah Yoni yang terbuat dari batu Andesit yang bagian
ceratnya telah hilang. Biasanya dilengkapi dengan Lingga sebagai pasangannya
yang ditancapkan ke dalam lobang persegi di bagian atas Yoni. Namun di Situs
Kalisongo, tanpa keberadaan Lingga.
Yoni adalah simbol dari Dewi
Uma/Parwati, istri (sakti) dari Dewa Siwa yang disimbolkan dengan Lingga. Celah
pada pelipit atas permukaan Yoni berfungsi untuk mengalirkan Air Suci menuju
cerat yang masih tampak.
C. Pedestal
Berukuran hampir 50 cm persegi, sebuah pedestal yang
berbahan sama dengan dua bagian sebelumnya.
Bagian atas dilengkapi lobang bulat untuk menancapkan sesuatu yang
berbentuk silindris. meski belum jelas benda apa yang ditancapkan, namun bisa
jadi bagian bawah dari arca ataupun batu sima yang berbentuk silindris.
Pedestal ini juga dilengkapi dengan perbingkaian atas dan bawah, pilaster, juga
bingkai pada batangnya.
D. Balok Berkronogram
Balok batu andesit yang bertuliskan angka tahun, namun
disayangkan, dari semula sepasang balok batu, kini hanya diketemukan satu
potong. Angka digit yang tertera pun hanya angka puluhan (angka 4) dan satuan
(angka 3). Sedangkan angka ribuan dan ratusannya berada pada balok yang belum
diketemukan. Dipastikan angka ribuannya adalah 1, dengan beberapa kemungkinan
angka ratusan (0,1,2,3 atau 4).
Dari kemungkinan tahunnya adalah 1043 Saka (1121 M), 1143 S
(1221 M), 1343 S (1321 M), atau 1443 S (1421 M). Prakiraan masanya adalah, Masa
Kadiri (1121M dan 1221 M), atau Masa Majapahit (1321 M / 1421 M).
E. Pilar Batu
Sebuah pilar dari batu andest yang belum diketahui apa
fungsinya. Dilengkapi dengan perbingkaian bawah serta perbingkaian atas yang
berupa peliot persegi.
F. Balik Batu
Kemungkinan merupakan sisa bebatuan candi yang tersisa.
Terbuat dari batu andesit berukuran 23x17x27 Cm.
Desa Kalisongo sendiri merupakan desa bersejarah, Ngalamers.
Banyak bukti historis maupun arkeologis yang bisa ditemukan di desa yang
menjorok ke kawasan Kota Malang ini.
Peninggalan purbakala di Situs Kalisongo yang diyakini
merupakan reruntuhan candi pada akhir masa Kadiri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Drs. M Dwi Cahyono,
MHum., Arkeolog yang juga Dosen Universitas Negeri Malang, ternyata dari
penemuan benda-benda purbakala yang kini berada di Punden Kalisongo terbaca
huruf yang menandakan tahun 43.
'Bisa dikatakan kurang lebihnya tahun 1143, Jadi akhir
(kerajaan) Kadiri, awal Singhasari, bahkan awal Tumapel malahan.' kata Ahmad
Yani, Ketua Komunitas Metro Pradesa, kepada Halomalang, Kamis (09/10) lalu.
Tuanya perkampungan di Kalisongo khususnya Sumberejo, juga
diindikasikan dengan keberadaan punden 'Buyut Kiyo', seorang tokoh yang
makamnya dianggap keramat oleh warga sekitar. Meski tak diketahui pasti kapan
tanggal dan tahunnya, namun di makam Buyut Kiyo terdapat nisan yang mengarah ke
utara, khas pemakaman warga muslim.
'Boleh dikatakan ini merupakan peradaban Mataram-Islam,
kalau yang sana (Punden Kalisongo) itu Hindu-Siwa. Jadi Sumberejo ini adalah
satu wilayah yang mengalami suatu metamorfosis peradaban yang luar biasa.'
jelas pria yang dulunya mengaku sebagai mahasiswa dari Arkeolog UM, Dwi Cahyono
ini.
Juga tak jauh dari Kalisongo adalah kelurahan Pisangcandi
dan Karangbesuki, yang keduanya mempunyai jejak budaya masa lalu, baik dari
jaman prasejarah hingga masa Hindu-Buddha.
Bahkan, menurut essay berjudul 'Bedah Sejarah Desa
Kalisongo: Adaptasi Ekologi Suatu Permukiman Kuno di Lembah Metro' yang ditulis
Drs. M Dwi Cahyono, MHum., bisa jadi pusat pemerintahan Kerajaan Kanjuruhan
(abad VIII - IX M) berada tak jauh dari Kalisongo, yakni Dusun Kejuron.
Bp. Ahmad Yani, pemerhati dan pelestari budaya dari
Komunitas Metro Pradesa.
Unsur nama 'Kejuron' dekat atau perubahan dari nama
'Kanjuruhan'. Lokasinya dekat dengan Candi Badut, yang berdasarkan prasasti
Dinoyo I (Kanjuruhan 760M) merupakan bangunan suci dari masa pemerintahan Raja
Gajayana.
Desa Kalisongo ini termasuk dalam konteks 'Metro Pradesa',
yakni desa-desa yang berada di aliran Kali Metro. Di wilayah ini, Kali Metro
mendapat pasokan air dari Kali Songo, yakni sungai yang bersumber dari sembilan
mata air.
Dari sudut pandang sejarah, Kali Metro merupakan sungai di
Malang Raya yang diyakini sebagai sungai suci pada masa Hindu-Buddha. Hal ini
dikarenakan mata airnya berada di lereng timur Bukit Panderman (anak Gunung
Kawi) yang pada masa tersebut juga diyakini sebagai Gunung Suci (Holly
Mountain). Dalam sejarah panjang Malang, Kali Metro menjadi unsur fisis alamiah
yang turut membentuk peradaban yang berada di kawasan timur Gunung Kawi (Malang
Raya).
Selain sumber data berbentuk artefak, terdapat pula sumber
data berupa prasasti yang kemungkinan memiliki kontribusi informasi bagi
sejarah Desa Kalisongo, yakni prasasti tembaga (Tamtra-Prasasti) Ukir Negara
atau prasasti Pamotoh yang bertuliskan Saka 1120 (1198 M).
Prasasti ini menginformasikan tentang pemberian anugerah
tanah perdikan di suatu lembah oleh Sri Digjaya Resi melalui perantara Dyah
Limpa, Dyah Mget, Dyah Duhet dan Dyah Tamani atas jasanya menjaga tanggul di
bumi Panjalu. Dyah Limpa berkedudukan di Gasek. Gasek sendiri saat ini
merupakan sebuah dusun di Kelurahan Karangbesuki. Selain itu, prasasti Pamotoh
juga menyebut 35 desa di timur Gunung Kawi yang mendapat penarikan pajak dari
Rakyan Kanuruhan. Salah satu desanya adalah Desa Palakan.
Unsur nama Palakan ini hadir sebagai nama salah satu kampung
di Desa Kalisongo yakni 'Lok Andeng', tak jauh dari Lok Andeng juga terdapat
kampung bernama Lok Sumber yang terdapat sebuah cekungan tanah yang luas dan
terdapat genangan air dari sejumlah mata air. Bisa jadi desa kuno Palakan yang
disebut dalam Prasasti Pamotoh kini dinamai 'Lowok Sumber atau Lok Andeng'.
Alasan lain, lokasi Lok Andeng tak jauh dari desa-desa kuno
seperti Gasek, Peniwen, Talun, Gadang, Segenggeng yang juga disebut dalam
Prasasti Pamotoh. Luga lokasinya berada di sub area barat Malang yang masuk
daerah kekuasaan Rakyan Kanuruhan. Selain itu keberadaan jejak arkeologis
Hindu-Buddha berupa reruntuhan candi di Situs Kalisongo.
Jika demikian adanya, maka kawasan ini merupakan daerah tua
yang telah ada sejak masa Kadiri, dengan nama kunonya 'Thani (Desa) Palakan'.
Keberadaan reruntuhan candi di Punden Kalisongo adalah bukti jika pada masa itu
masyarakatnya sangat agamis, sehingga dibagun tempat peribadatan berbentuk
candi.
Reruntuhan di Punden Kalisongo sendiri merupakan tempat
peribadatan yang berlatar agama Hindu Sekte Siwa. Yoni yang merupakan simbol
sakti (istri) Dewa Siwa dan Arca Nandi sebagai wahana Dewa Siwa adalah
indikator kuatnya.
Apalagi jika menilik keberadaan situs-situs di sekitarnya
seperti Candi Badut, situs Gasek, Watu Gong, Bakalan Krajan, atau situs
Peniwen, cukup untuk menyatakan pengaruh kuat Hindu-Siwa, khususnya Siwa
Siddharta sangat dominan di kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) Metro pada masa
Hindu-Buddha.
0 komentar:
Posting Komentar